BERIKUT SEBAGIAN ISI MAKALAH YANG AKAN ANDA DOWNLOAD :
Dilihat
dari latar belakang historisnya, konsep kesetaraan gender menurut Rowbotham
sebenarnya lahir dari pemberontakan kaum perempuan di negara-negara barat
akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman
Yunani, Romawi, Abad Pertengahan (the Middle Ages), dan bahkan pada “abad pencerahan” sekali pun, barat menganggap
wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala
kejahatan atau dosa. Hal ini pun kemudian memunculkan gerakan
perempuan barat menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan
politik yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis. Kelahiran “feminisme” dibagi menjadi tiga gelombang, yakni feminisme gelombang pertama yang dimulai dari publikasi Mary
Wollstonecraft berjudul “Vindication of the Rights of Women” pada tahun 1972, yang menganggap kerusakan
psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan
ekonomi pada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik. Setelah
itu, muncul feminisme gelombang kedua dengan doktrinnya yang
memandang perbedaan gender sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan
terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai gugatan perempuan
terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis (heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha mengubah
setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik. Terakhir adalah feminisme gelombang ketiga yang lebih menekankan kepada
keragaman (diversity),
sebagai contoh ketertindasan kaum perempuan heteroseksual yang dianggap berbeda dengan ketertindasan yang
dialami kaum lesbi dan sebagainya.
Indonesia
pun memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Sejak era
Kartini, kaum perempuan di Indonesia mulai menyadari arti pentingnya kesetaraan
gender dalam memperoleh hak-hak publik seperti yang diperoleh kaum lelaki. Pada dasarnya, jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan
khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak Undang-Undang Dasar
1945 dibentuk yakni dalam pasal 27 ayat 1.
Namun pada kenyataannya, masih banyak
program-program pembangunan yang biayanya dari anggaran keuangan pemerintah
Indonesia sendiri atau dari dana bantuan maupun pinjaman luar negeri, yang
hasil maupun dampak positifnya lebih memihak laki-laki, ketimbang perempuan.
Selain itu, alokasi dana dan sumber-sumber untuk sektor-sektor yang akrab dengan
perempuan dan menyentuh pada kehidupan privat di pelosok-pelosok Indonesia
sangatlah minim. Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender merupakan indikator bahwa isu gender yang terus bergulir
belum mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk
pembangunan politik yang berwawasan gender. Bahkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia
memperlihatkan representasi yang rendah dalam semua tingkat pengambilan
keputusan, baik di tingkat eksekutif, yudikatif, maupun birokrasi, partai
politik, bahkan kehidupan politik lainnya. Oleh karena itu pada makalah ini, penulis mencoba untuk membahas
pendahuluan yang berisikan latar belakang dan pernyataan argumen. Selanjutnya,
penulis juga akan menguraikan beberapa gagasan-gagasan serta bukti-bukti yang
mendukung argumen tersebut pada bab berikutnya, yaitu bagian pembahasan. Dan di
bagian terakhir makalah ini, penulis akan mencoba untuk memberikan ringkasan
kesimpulan dan juga saran.
No comments:
Post a Comment